Judul : Egosentris
Penulis : Syahid Muhammad
Terbit : Cetakan Kedua, November 2018
Penerbit : Gradien Mediatama
Tebal : 371 Halaman
ISBN : 978-602-208-165-4
Manusia Modern
Sebagian besar generasi muda zaman ini sudah pasti memiliki akun sosial media, mulai dari Facebook, twitter, dan instagram. Hidup di masa revolusi industri 4.0 memang menjadikan generasi Y dan Z tidak bisa terlepas dari gadged. Bahkan disebutkan bahwa setidaknya, generasi Y atau milenial menggunakan gadged sekitar 7-11 jam setiap harinya, dimana di dalamnya juga sudah pasti termasuk penggunaan sosial media. Mulai dari hanya mengecek notifikasi terbaru, memposting foto-foto kekinian dengan caption yang dibuat se keren mungkin, dan tidak lupa sesekali meramaikan kolom komentar berita-berita yang lagi viral. Secara tidak sadar, penggunaan sosial media sedikit banyak akan berpengaruh pada tingkat kesehatan mental seseorang. Bahkan, sekarang sudah ada sejenis penyakit psikologis yang dikenal dengan istilah Syndrom FOMO (Fear of Missing Out) dimana seseorang tidak bisa melepaskan diri dari media sosial karena takut ketinggalan sesuatu yang sedang update atau berada di gugusan teratas dari trending.
Novel egosentris karya Syahid Muhammad ini alih-alih mengusung tema tentang romantika percintaan seperti kebanyakan novel anak muda pada umumnya, novel ini lebih berfokus pada isu-isu sosial terkait dengan mental illness atau mental disorder. Tidak hanya satu jenis saja, namun penulis dengan ciamiknya mampu meramu beberapa isu sosial sehubungan dengan kesehatan mental yang marak terjadi belakangan ini. Sebut saja bullying, depression, Syndrom FOMO, sexual harassment dan juga salah satu gangguan psikologis yang unik tetapi cukup berbahaya, Self Harm disorder.
Egosentris
Menurut teori psikologi analisa Freudian, dalam kajian psikologi, ego merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap individu (Psikologi Kepribadian, hlm.4). Sedangkan egosentris adalah suatu sikap dimana individu hanya berfokus pada dirinya sendiri, pada kepentingan dan kepuasannya, pada keinginannya, pada cara pandangnya terhadap segala sesuatu tanpa mengindahkan lagi cara pandang orang lain selain dirinya.
Manusia memang tak pernah peduli pada apapun di dunia ini, selain kesenangan dirinya masing-masing (hlm.142). Pernyataan tersebut sangat tidak keliru. Dalam kajian Psikologi sendiri, Karen Horney menyebutkan jikalau manusia selalu berusaha mencari kesenangan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Semua memiliki kepentingan pribadi, termasuk kebiasaan menuliskan komentar nyinyir atau hujatan terhadap orang lain untuk balas dendam atau hanya mencari kesenangan yang bisa mereka nikmati.
Fatih, Fana, Saka
Berkisah tentang tiga orang sahabat yang merupakan mahasiswa jurusan psikologi, Fatih, Fana dan Saka menjadi tokoh utama dalam novel ini. Meskipun semakin ke belakang, cerita seputar kehidupan Fatih lah yang mendominasi. Fatih yang misterius dengan begitu banyak rahasia yang ia pendam sendirian, seorang pemikir yang kritis. Menjadi bahan bully-an teman-temannya sejak kecil. Fana, gadis cantik yang segala keputusan tentang hidupnya ditentukan oleh kedua orangtuanya, termasuk urusan kuliah dan cita-cita. Dan Saka, si sulung yang berusaha keras mendidik adiknya, meski selalu berujung dengan pertengkaran. Pada setiap bahasannya, Syahid Muhammad, penulis novel ini menyajikan sebuah puisi yang menggambarkan sub-bab yang sedang dibahas. Misalnya pada bahasan tentang seorang Fatih;
Terkadang, aku ingin bertahan menjadi rahasia
Daripada terungkap tapi tidak dipedulikan.
Namun, kita tak pernah benar-benar tidak peduli
Sampai itu terjadi pada kita.
Sampai kita menjadi rahasia itu sendri.
Hingga kau terjadi padaku
Terjadi dalam diriku,
terjadi dalam hidupku,
lalu menjadi rahasia. (Egosentris, Hal.29).
Berbagai ketidakadilan yang dialami Fatih, mulai dari sering dibully oleh teman-temannya, sampai kematian kedua orangtuanya yang menyisakan trauma sampai ia harus menanggung sebuah penyakit psikologis yang tidak bisa dianggap remeh menjadikan Fatih semakin terlelap dalam kesendiriannya, dalam kedalaman rahasia dan beban hidup yang tak mampu dibaginya dengan orang lain, tidak ada yang benar-benar peduli.
Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi sosial menjadi kian terbalik. Hal-hal buruk menjadi lumrah, sedang hal-hal baik justru dipertanyakan. Bagaimana sebuah kebaikan sekarang malah terasa asing. Bagaimana tanpa disadari, apa yang menurut kebanyakan orang dijadikan sebagai suatu lelucon, adalah tikaman pada jiwa orang lain. Pada perasaannya, pada hatinya, pada kehidupannya, pada pedalaman jiwanya yang kian rapuh. Seharusnya kita tahu, bahwa tidak semua hal bisa dibuat bercanda, terlebih masalah orang lain.
Do not ever underestimate someone’s pain. Please, kalian gak tau gimana rasanya kalau masalah kalian dibecandain orang-orang. Kalian gak tahu apa yang udah dihadapi orang lain di hidupnya. Kalian nggak tahu seberat apa mereka berusaha untuk tetap terlihat baik (hlm.350). Pada lembaran-lembaran halaman novel ini, kita akan disuguhkan kata demi kata yang akan ‘menampar’ diri kita. Mencari celah untuk kembali membangkitkan sisi kemanusiaan. Bahwa di dunia ini kita tidak hidup sendirian, ada perasaan-perasaan orang lain yang harus kita pedulikan. Selain itu, penulis mampu untuk benar-benar menggiring pembaca pada dunia nyata yang hidup dalam 371 halaman novel egosentris.
Peresensi : Masluhah Jusli